Lebih dari Sekadar Nilai Rapor: Kenapa Etos Kerja Industri Wajib Dibangun Sejak Bangku Sekolah

Jumat, 18 Juli 2025 | 09:05:56 WIB

Oleh : Marto Holmes Silaen | Lukmanul Hakim | Fitri Ariadi

(Mahasiswa Magister Pendidikan Vokasi Keteknikan Universitas Lancang Kuning)

OPINI - Pernahkah kita bertanya, apa sebenarnya tujuan utama sekolah kejuruan? Apakah sekadar mencetak lulusan dengan nilai rapor yang mentereng, atau justru membentuk individu yang siap tempur di kerasnya dunia industri? Jawabannya tentu yang kedua. Di tengah gempuran persaingan global, memiliki skill teknis saja tidak cukup. Dibutuhkan etos kerja industri yang kuat, sebuah mentalitas baja yang tak lekang oleh waktu dan tuntutan. Inilah inti dari sebuah pemikiran brilian yang telah ada puluhan tahun lalu, namun relevansinya tak pernah padam.

Teorema Prosser: Fondasi Etos Kerja dari Bangku Sekolah

Di awal abad ke-20, seorang pakar pendidikan vokasi bernama Charles A. Prosser mencetuskan sebuah gagasan fundamental: "Etos kerja industri harus dibangun dalam proses belajar." Sederhana namun sangat mendalam. Prosser percaya bahwa karakter dan kebiasaan kerja yang profesional tidak bisa hanya diajarkan di papan tulis atau melalui ceramah. Mereka harus diinternalisasi, dibentuk, dan diasah melalui pengalaman langsung dalam lingkungan belajar yang mensimulasikan dunia kerja sesungguhnya. Ini bukan tentang menghafal definisi "disiplin," melainkan tentang merasakan langsung konsekuensi dari ketidakdisiplinan atau manfaat dari ketekunan.

 

Realita di Lapangan: SMK dan Gerakan Membangun Mental Juara

Beruntung, banyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia sudah bergerak ke arah ini, meskipun mungkin belum sepenuhnya sempurna. Kita bisa melihat berbagai inisiatif nyata yang bertujuan membentuk etos kerja industri, bukan hanya sebagai mata pelajaran, tapi sebagai DNA dari setiap lulusan:

Pertama, program magang atau yang akrab kita sebut Praktek Kerja Industri (Prakerin). Inilah momen para siswa merasakan "dunia nyata." Mereka bangun pagi, menghadapi kemacetan, berhadapan dengan atasan, menyelesaikan tugas dengan tenggat waktu, hingga berinteraksi dengan rekan kerja. Di sini, mereka belajar disiplin, tanggung jawab, inisiatif, dan cara berkomunikasi layaknya seorang profesional. Telat sedikit diprotes, salah kerja ada konsekuensinya. Ini pelajaran tak ternilai yang tak ada di buku.

Kedua, kerja sama SMK dengan industri. Bukan sekadar formalitas, kemitraan ini kini semakin vital. Industri tidak hanya menerima siswa magang, tetapi juga terlibat dalam penyelarasan kurikulum, menjadi guru tamu, bahkan menyumbangkan peralatan mutakhir. Ini memastikan apa yang diajarkan di sekolah relevan dengan kebutuhan industri. Siswa jadi tahu, "Oh, inilah yang dipakai di pabrik sungguhan," menumbuhkan rasa memiliki dan kesiapan yang lebih besar

Ketiga, keberadaan unit produksi atau teaching factory di banyak SMK. Di sini, sekolah bertransformasi menjadi semacam pabrik mini. Siswa tak hanya praktik, tapi benar-benar memproduksi barang atau jasa yang kadang dijual ke pasar. Mereka merasakan bagaimana tekanan target produksi, menjaga kualitas, hingga melayani pelanggan. Ini adalah simulasi nyata yang mengasah mentalitas kewirausahaan dan profesionalisme sejak dini.

Keempat, kegiatan kewirausahaan teknis yang didorong. Siswa tidak hanya dilatih menjadi pekerja, tetapi juga diajak menciptakan nilai tambah. Mereka belajar dari nol: merancang produk, menghitung modal, memasarkan, hingga menghadapi untung rugi. Ini menumbuhkan inisiatif, kemandirian, dan pemahaman akan dinamika bisnis

Antara Harapan dan Tantangan: Sebuah Opini Kritis

Fenomena-fenomena di atas patut diacungi jempol. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata. Ada kalanya, program magang hanya menjadi formalitas, siswa "dianggurin" atau hanya disuruh fotokopi. Kerja sama industri seringkali belum merata ke semua SMK, terutama yang berada di daerah terpencil. Teaching factory pun tidak semuanya berjalan optimal, terkendala modal atau manajemen.

Menurut penulis, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa setiap pengalaman belajar, mulai dari hari pertama masuk SMK hingga kelulusan, benar-benar diresapi sebagai kesempatan membangun etos kerja. Ini bukan hanya tugas guru produktif, tetapi seluruh elemen sekolah. Guru agama bisa mengajarkan kejujuran dan integritas yang relevan dengan etos kerja. Guru PPKN bisa menanamkan tanggung jawab dan kepatuhan pada aturan yang penting di industri. Kepala sekolah harus menjadi lokomotif yang terus mendorong budaya industri di seluruh sendi pendidikan.

Lebih lanjut, kita perlu menghilangkan stigma bahwa SMK adalah "sekolah kelas dua." Ini justru sekolah yang menyiapkan generasi dengan tangan terampil dan mental baja. Etos kerja bukan hanya tentang kedisiplinan, tetapi juga tentang kreativitas, adaptasi, inisiatif, dan kemampuan belajar sepanjang hayat. Dunia industri selalu berubah; lulusan yang beretos kerja tinggi adalah mereka yang siap beradaptasi dengan perubahan itu.

Membangun Masa Depan yang Lebih Produktif

Mari kita renungkan. Sebuah negara maju tidak hanya butuh ilmuwan, tetapi juga tenaga kerja terampil dan beretos. Pendidikan di SMK memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan dunia industri yang terus bergerak.

Oleh karena itu, ini adalah ajakan bagi kita semua:

  • Bagi Pemerintah dan Pemangku Kebijakan: Perkuat regulasi dan dukungan untuk kemitraan industri-SMK yang lebih intensif dan berkualitas. Pastikan kurikulum selalu relevan.
  • Bagi Pihak Industri: Jangan ragu untuk berinvestasi lebih dalam pada SMK. Kalian adalah penerima manfaat utama dari lulusan yang berkualitas. Buka pintu selebar-lebarnya untuk praktik dan transfer pengetahuan.
  • Bagi SMK: Jadikan pembangunan etos kerja sebagai prioritas utama. Ciptakan lingkungan belajar yang tak hanya kaya teori, tapi juga praktik nyata dan penuh tantangan. Jadikan disiplin, inisiatif, dan tanggung jawab sebagai napas harian.
  • Bagi Orang Tua dan Siswa: Pahami bahwa belajar di SMK bukan hanya tentang nilai, tetapi tentang pembentukan karakter dan mentalitas seorang profesional. Manfaatkan setiap kesempatan magang atau proyek sebagai ajang penempaan diri.

 

Etos kerja industri bukan sekadar jargon, melainkan fondasi bagi keberhasilan individu dan kemajuan bangsa. Membangunnya dari bangku sekolah adalah investasi terbaik untuk masa depan Indonesia yang lebih produktif dan kompetitif. Ini adalah misi kita bersama.

 

Terkini